Kristen Kupu-Kupu
Ringkasan Khotbah Pdt.M.D.Wakkary
Istilah Kristen kupu-kupu pertama kali saya dengar ketika retreat
Mamre beberapa waktu lalu. Entah siapa yang pertama kali yang mempopulerkannya,
tapi yang jelas istilah ini timbul semacam kritikan bagi jemaat gereja dewasa
ini yang suka bergereja secara nomaden alias berpindah-pindah.
Hal ini memang menjadi suatu kecendrungan yang menarik untuk dicermati, sebab
semakin banyak jemaat yang pergi ke gereja berdasarkan ‘kebutuhan’. Orang yang
menganut ‘welfare relegion’ pingin hidup sejahtera cendrung menikmati
kotbah-kotbah tentang berkat Tuhan. Orang miskin katanya
tidak diberkati?! Orang-orang sakit doyan pergi KKR penyembuhan. Orang yang
terserang virus selebritas suka kotbah-kotbah dari orang yang terlanjur
terkenal. Orang muda suka gereja yang nge-band, funky, boleh pake jins sobek.
Orang yang suka mendengar ‘kebenaran firman gado-gado’ tertarik dengan
pengkotbah yang mengutip ayat-ayat dengan hafal.
Jemaat, terutama di kota-kota besar memang beruntung bisa mendapatkan banyak
pilihan ‘menu’ yang diberikan banyak gereja, persekutuan doa, dan
institusi-institusi lain. Ada gereja modern ada yang tradisional. Ada gereja
sorak-sorai ada yang cool. Ada gereja dengan iringan musik band, mulai dari
nge-pop sampai yang rada-rada hard rock, dan masih banyak lagi macamnya. Bahkan
di Ancol pernah digelar konser musik rohani yang benar-benar trash metal.
Katanya untuk memenuhi kebutuhan kaum metal. Mereka juga butuh siraman rohani!
Edan.
Pemahaman bergereja bagi sementara kita mungkin masih sebatas ritual oriented.
Ya, karena hari minggu pergi ke gereja. Sebab sejak kecil disuruh ke gereja
kebetulan hari minggu. Malah kadang-kadang harus di beri uang jajan baru pergi
ke gereja. Tidak jelas tujuan dan apa maksud ke gereja, karena itu setelah
besar juga senang jajan rohani. Kondisi ini memang membawa kita ke dalam
kondisi egosentris yakni mencari kesenangan diri sendiri dahulu baru kehendak
Tuhan, dan bukan sebaliknya: kita dahulu mencari kehendak Tuhan (teosentris)
baru kemudian memikirkan diri kita. Bila saja kita mampu
mencari kehendak Tuhan dahulu maka sampailah kita pada tahap practical
oriented. Jadi renungan firman pada hari minggu itu
dapat menjadi dasar moral kehidupan kita. Seperti ditulis dalam Yakobus 2
ayat 17: iman tanpa perbuatan adalah mati.
Kalau saja pergi ke gereja sebagai jadwal rutin, jadilah isi kotbah menjadi
kurang makna. Karena kita hanya berorientasi kepada “Apakah saya sudah ke
gereja minggu ini?” atau mungkin cendrung malah datang ke gereja sebagai tim
juri, “Apakah kotbah hari ini menarik?” Lalu, bila tidak menarik kita pun
mencari-cari kesenangan menurut hati kita. Sehingga seolah-olah gereja mirip
mall, bebas keluar masuk.
Bergereja bukan sekedar teori “bertambah-tambah”, tetapi juga “praktek
berbagi-bagi”. Kita datang ke gereja bukan hanya menambah kuat iman kita
dan semakin meningkat kesejahteraan kita karena diberkati, tetapi juga praktek
membantu mereka yang masih lemah keyakinannya dan menolong orang yang masih
serba kekurangan. Kalau kita hanya rajin saja ke gereja terlebih
berpindah-pindah, kapan waktu kita untuk ‘berbagi-bagi’? Kita perlu meluangkan
waktu untuk persekutuan, berbakti bagi Tuhan dan jemaat yang iain. Ingat selalu
tiga tugas gereja : kononia, marturia dan diakonia (bersekutu, bersaksi, dan
melayani).