Artikel seorang Ahli Syaraf
Dulu takut menjaga anak perempuan, tapi sekarang lebih takut lagi menjaga anak laki-laki.
Sekedar berbagi cerita dari poli syaraf untuk para orang tua, supaya kita semakin gencar menjaga lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal dan sekolah.
Copas dari tulisan dr. Ani Hasibuan, ahli syaraf di RSCM dengan topik: “LGBT Merangkai Duka”
Sejak 1997 saya berurusan dengan para kaum homo. Sampai hari ini belum pernah absen.
Mereka pasien terbanyak HIV yang saya tangani. Yang hidup tinggal beberapa sih.
Barusan suster saya lapor ada lagi yang meninggal 3 hari lalu, dengan kriptokokus meningitis (infeksi jamur di otak).
Dari pengamatan saya, gay itu ada “kasta”nya.
- Ada yang dominan; biasanya yang punya uang dan lebih tua secara umur.
- Ada yang submissif; kalau saya perhatikan, semacam “piaraan”.
Piaraan ini berkasta juga, ada anak muda putih bersih klimis dari kalangan keluarga menengah.
Ada juga yang kelas sandal jepit (bukan yang harga 18 ribu ya… ?).
Perlakuan dari yang dominan pada piaraan juga berbeda, sesuai KW si piaraan.
Yang KW ori diperlakukan sangat istimewa.
Waktu saya kerja di klinik HIV RSCM, pernah dapat pasien mahasiswa universitas swasta terkenal di Jakarta yang kena meningitis kriptokokus (jamur otak).
Orang tuanya pekerja Petrol, tinggal di Dallas, USA. Dia di sini tinggal sendiri. Anaknya tampan, klimis dan kelihatan anak baik. Sang dominan (pasangannya yg dominan) sering ikut mengantar kalau kontrol ke klinik saya. Sang anak kena meningitis krisptokukus (jamur otak).
Dan bagi yang Dominan, saya pernah dapati seorang dominan yang kena infeksi di medulla spinalis, spondilitis TB.
Jadi lumpuh kedua kakinya tiba2.
Ada juga piaraan bayaran. Satu pasien saya asal Jogja (sekarang sudah meninggal dengan toksoensefalitis; bisul di dalam otak, karena kuman tokso yang sering nempel di badan kucing, anjing).
Mengaku dia bayaran, dipiara seorang laki2 Cina untuk bayaran 1000 sampai 2000 USD per bulan.
Uangnya dia kirim ke Jogja untuk anak dan istrinya… ?.
Dia ini sejatinya bukan gay, jadi semacam pelacur lelaki (gigolo) yang kerja sebagai caddy lelaki di satu lapangan golf di Tangerang.
Waktu ketahuan HIV dan tokso, nangis meraung2. Kalau saya periksa selalu terisak2 dan bilang menyesal.
Pas ketemu bininya saya yang berkaca2. Sebab bininya perempuan rapi dengan dua balita.
Ada juga gay kakak adik. Sejak kecil dikasih satu kamar dan satu ranjang oleh emak bapaknya.
Pas gede, tau2 yang kakak kena kripto.
Dicek HIV positif.
Ditanya pasangannya siapa?
Dia bilang adiknya.
Pas adiknya dicek, positif juga HIV-nya.
Kedua2nya sudah meninggal, dalam satu ruang rawat yang sama.
Ayahnya sampe anak2 itu dikubur pun gak pernah mau datang nengok.
Hati-hati dengan anak-anak..!
- Ajarkan mereka untuk bertindak agresif kalau ada yang coba2 menggoda dari kaum ini.
- Ajarkan anak bahwa hubungan badan yang mereka lakukan itu adalah hubungan badan yang tidak benar dan membawa bahaya.
- Ajarkan mereka untuk menghargai semua orang namun anak-anak kita, harus punya pendirian tegas dan bukan pendirian kasar.
Pengalaman saya dari anak2 yang kena goda para ‘penyuka anus’ ini, mereka makin agresif kalau yang digoda diam atau menunjukkan rasa takut.
Tapi langsung berhenti kalau yang digoda langsung menolak dengan tegas. (Beberapa anak muda yang digoda gay konsultasi ke saya bersama ortunya).
- Bila anak bepergian, jangan ijinkan kalau sendirian…!
Usahakan beramai2, supaya nyalinya tidak ciut kalau ada gay yang datang menggoda. Mereka bisa tawarkan apa saja; bisa uang, bisa bujuk rayu, bahkan ancaman.
Dari wawancara dengan pasien2 gay, mereka ini tadinya SEMUA pernah mengalami anal seks, sebagian besar secara paksa!
Setelahnya mereka akan sangat dijaga dan ditemani oleh kelompok gay. Pergaulannya diganti jadi pergaulan gay, dst.
Cerita tentang gay semua berakhir TRAGIS…!!!
Belum pernah saya dengar yang berakhir seperti di cerita fairytopia…
Misalnya berakhir kayak Cinderella, happily ever after…
Kisah para gay berakhir dengan tokso, kripto, TB, pnemonia, kandida, dan diujungnya mati sendirian tanpa didampingi kaumnya.
Semoga bermanfaat..
Terimakasih dr. Ani Hasibuan.